Senin, 04 April 2011

Konsep Retro dalam Aplikasi Desain

Retro menjadi bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang pernah muncul dan muncul kembali. Retro dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur lama dengan kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu kesatuan. Contohnya seperti pada iklan-iklan yang disebutkan di atas tadi. Semuanya menampilkan produk baru, figur model iklan masa kini (Inul, Marshanda, Agnes Monica, dll), dengan menggunakan teknologi tercanggih untuk produksinya. Iklan –sebagai wacana teks- menjadi berbeda dari ‘semangat’ teks rujukan. Retro hanya dipakai sebagai pendekatan untuk menampilkan suasana sebagai pembentuk kesan saja.



Di dalam komunikasi visual, iklan merupakan salah satu media pembentuk kesan. Dengan pendekatan visualisasi tertentu impresi yang timbul sengaja dihadirkan untuk mengingatkan khalayak pada fenomena masa lalu. Namun, sesungguhnya impresi nostalgik tersebut lahir karena cuplikan gaya ilustrasi/visualisasi/ikon yang didefinisi ulang dan tidak berhubungan dengan produk yang diiklankannya. Bahkan, seringkali antara produk dengan impresi nuansa retro tidak berhubungan; kedua unsur tersebut bersatu dan berbaur untuk menghasilkan sesuatu yang baru, aplikatif, dan menjadi bagian dari kebudayaan kontemporer.

Aplikasinya pada Desain?
Perubahan desain seiring dengan dinamika pola pikir masyarakat, trend, mode, dan kebudayaan. Makna revisibilitas pada desain serupa dengan ilmu-ilmu empirik. Mengingat fleksibilitas dan relativitas pada desain yang lebih ‘bebas’ di banding ilmu pasti, maka revisibilitasnyapun lebih tinggi.
Dalam aplikasi desain, banyak ditemui model perancangan memakai pengulangan sesuatu yang pernah ada. Semenjak semangat renaissance -yang mengembalikan kejayaan Romawi , manusia mendefinisikan ulang konsep-konsep retro menjadi beragam aplikasi, dengan motif tertentu yang bersifat transformatif. Klasisisme menjadi salah satu aplikasi retro yang cukup penting, menjadikannya model dan menciptakan semangat.



Dalam kaitan menghadirkan romantisme kejayaan masa lalu, PSSI menggunakan kembali desain kostum kesebelasan nasional era tahun 50 sampai 60-an di mana kejayaan sepakbola masih menjadi milik Indonesia. Namun ironisnya, para pemain sekarang yang rata-rata berusia muda (kelahiran tahun 1980-an), kurang menjiwai semangat kejayaan tersebut sehingga unsur retro sebagai ikon menghadirkan romantisme kejayaan persepakbolaan Indonesia menjadi kurang efektif. Pada retro, unsur-unsur lama menjadi referensi (menciptakan berdasarkan model terdahulu), atau re-evaluasi (memberi nilai baru), atau restorasi (mengembalikan/pemulihan), atau retrofleksi (keadaan membengkok ke arah belakang) atau berkembang menjadi retrogesif (bersifat mundur;bertambah buruk), atau bahkan deformasi. Retro menjadi semacam gerakan romantik dan menjadi katarsis dalam proses menghasilkan suatu karya desain.

Dalam kaitan gerakan revival, retro menjadi semangat untuk mengembalikan makna agar desain memperoleh kembali ekslusivitasnya. Hal ini nampak dalam gerakan Art & Craft dan Art Nouveau, yang menempatkan retro sebagai katarsis emosi kreatif seniman. Dalam gerakan Bauhaus, retro dipakai sebagai reinterpretasi seni ekspresionisme namun ditransformasikan kedalam pendekatan rasional. 19) Pendekatan yang seolah kontradiktif tersebut, karena wacana seni ekspresionisme yang mempunyai subyektivitas tinggi, dipakai sebagai ‘standard of excellence’ nilai estetika dan fungsionalis yang abadi dan universal. Proses yang kontradiktif ini mungkin saja terjadi karena adanya asimilasi kebutuhan antara desainer dengan penikmat/pengguna desain.



Retro dalam konsep menambah gaya/menggayakan muncul dalam Art Deco, yang merupakan gerakan era akhir modern yang memvisualkan simbol-simbol kemajuan jaman dengan ornamen dekoratif yang digayakan. Art Deco menggunakan retro gaya Cubism, Fauvism, Gaya Mesir dan Indian Aztec. Estetika Art Deco adalah modernistik yaitu perpaduan antara bentuk baru yang disederhanakan dengan kecenderungan dekoratif lama. Art Deco dikritik sebagai gerakan tanpa ideologi, berisi kebebasan, anarkis, dan suasana karnaval. Kritikan tersebut terjadi mengingat gaya ini timbul pada masa modern akhir, dimana terjadi pendekonstruksian teks dan konsep makna penanda. Pemaknaan retro model begini dianggap merupakan retrogresif (bersifat kemunduran) karena kriteria yang dipakai untuk mengkritisi memakai konsep form follow meaning. Apabila menggunakan konsep berorientasi pada konsumen tentu berbeda, sebab Art Deco adalah memenuhi fantasi futuristik konsumen.

Retro pada Pop Art mengambil unsur-unsur tradisional Amerika dan unsur-unsur yang berasal dari idiom dalam media massa koran ataupun komik, seperti teknik pewarnaan datar/blok, pemakaian outline pada gambar dan photo montage. Unsur sisi tradisional pada Pop Art, menurut Adityawan (1999),  adalah tipe huruf, ornamen- ornamen etnik, dan semangat mengangkat kembali gaya Art Deco, Art Nouveau. Desain-desain Pop Art ini dipakai sebagai media ekspresi dari gerakan-gerakan protes sosial seperti lingkungan hidup, anti perang Vietnam, persamaan gender, anti kemapanan, dan musik rock (alternatif). Salah satu gaya yang terkenal dari Pop Art adalah psychedelic art, yang menurut Meggs (1992) gaya ini dikaitkan dengan persepsi kecanduan obat-obatan psikotropika. Kebanyakan para pedesain komunikasi visual memakai gaya ini karena tuntutan klien grup musik rock dan promotor pertunjukan panggung. Esensi visualisasinya adalah taburan kilau warna-warni cahaya pada stage beserta penyanyi dan penari latarnya.

Secara visual ciri psychedelic art adalah penggunaan warna terang, cerah dan kombinasi warna komplementer (misalnya hijau dan merah, atau oranye dan ungu), memakai garis dan bentuk yang lentur sehingga gambar menjadi tidak realis, atau kurang jelas, tipografi kehilangan legibilitasnya karena bentuk yang melengkung berirama. Foto ditampilkan dengan kontras tinggi, hitam putih atau mengikuti warna komplementer yang dipakai . Awal retro pada psychedelic art adalah dengan meretrospeksi Art Deco dan Art Nouveau menjadi bentuk yang retrogesif atau bersifat mundur, karena pemaknaan pada desain yang merujuk pada budaya madat. Namun pada gaya desain kontemporer yang dipakai saat ini, justeru retro gaya psychedelic dipakai untuk merujuk atmosfir era 60-an tanpa mengkaitkan dengan asumsi madat, musik rock, budaya anti, dan konotasi negatif lainnya. Ini sekaligus menjadi ‘kenangan kembali’ yang merevaluasi/mereformasi nilai psychedelic menjadi lebih ‘beradab’. Tetapi sebagai diskursus penanda, gaya retro psychedelic kontemporer menjadi sekedar mengungkapkan kembali kenangan ‘pandang balik’ belaka tanpa makna transenden, serta menjadi bagian dari konsep ‘suka-suka’ belaka. Akhirnya, retro pada era kontemporer sangat mungkin tidak sekedar menjadi alternatif rujukan bagi penciptaan gagasan baru, namun menjadi sebuah konsep yang transformatif -yang berubah-ubah bentuknya-; retro menjadi sesuatu yang sifatnya sementara, tak sempurna, dan dapat dikaji ulang, diperbaiki, bahkan ‘dirusak’ lagi makna filosofisnya.
Retro yang dipakai sebagai fenomena, media, bahkan wacana dalam diskursus posmodern menjadi model-model aplikasi yang bersifat eksperimental, fleksibel, subtil, tanpa makna dan subjektif, namun menjadi trend, mode, bahkan disukai masyarakat, sama seperti konsep Studio Alchimia yang menerapkan hal tersebut sebagai wujud revivalism dalam desainnya.
Retro memberikan fenomena alternatif dalam pendekatan desain komunikasi visual. Sebagai gaya romantik, retro tidak hanya sekedar mengambil masa lalu untuk menghadirkan kembali kenangan, namun dapat didefinisikan menjadi beragam makna, memberi definisi baru, menunjukkan nilai baru dengan memperbaiki, memulihkan, bahkan bersifat mundur, ‘merusak’ dan membengkok dari konsep semula. Retro menjadi diskursus postmodern karena dianggap bagian dari kitsch, pastiche, parodi, dan camp yang masing-masing mencari definisinya pada retro dengan berbagai tinjauan konseptualnya karena fenomena retro makin menunjukkan sebagai wacana yang tak berbentuk, dan tiada bermakna sebagaimana konsep posmodern ‘form follow fun’. Pada diskursus era tersebut, function yang semula diusung oleh model atau petanda pada era sebelumnya menjadi bernilai ambigu ketika mengalami retro. Dengan kondisi itu pula, masing-masing subjek ataupun objek yang ‘berkomunikasi’ menggunakan retro, menemukan katarsisnya tanpa merasa bertanggung jawab atas konsep nilai atau kontribusi yang diusungnya sebagaimana contoh iklan pewangi pakaian yang mengangkat retro gaya psychedelic. Ketika ‘konsep’ dan ‘telaah’ psychedelic dipakai sebagai acuan untuk mengkritisi/menemukan ‘nilai’ dan ‘makna’ iklan tersebut, menjadi sebuah hal yang sulit, sebab nilai yang dipakai adalah kebaruan, dan semangat yang dipakai adalah simulasi budaya konsumen, dan konsep komunikasinya mengacu pada trend dan model yang tengah disukai tanpa perlu mencari makna filosofis bagi pendekatan retro tersebut. Inilah yang terjadi pada retro di masa kontemporer.

viewed : www.dgi-indonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar